Mengungkap Interpolasi: Membongkar Kebenaran di Balik Naskah Klasik Bikinan Ba'alawi

Daftar Isi

Mengungkap Interpolasi: Membongkar Kebenaran di Balik Naskah Klasik Bikinan Ba'alawi

Pernahkah Anda merasa terjebak dalam narasi sejarah yang tampak meyakinkan, hanya untuk menemukan bahwa fakta-fakta di baliknya bisa jadi jauh lebih rumit? 

Dalam dunia manuskrip kuno, kebenaran sering kali tersembunyi di balik lapisan-lapisan interpolasi—penambahan yang dapat mengubah makna asli secara drastis. 

Artikel ini akan membawa Anda pada perjalanan menarik untuk menggali dua contoh interpolasi dalam karya-karya bersejarah: kitab Abna’ul Imam fi Mishro Wasyam karya Abul Muammar Yahya bin Muhammad bin Tobatoba dan kitab Al-Baha fi Tarikh Hadramaut oleh Ibnu Hisan. 

Bersiaplah untuk mengeksplorasi bagaimana manipulasi teks dapat membentuk persepsi kita terhadap sejarah dan nasab yang kita anggap benar.

Berikut ini adalah artikel yang telah dimuat di rminubanten.or.id dimana Kyai Imaduddin menjawab 7 pertanyaan yang disampaikan oleh gus rumail

KH, Imaduddin Al-Bantani

Menjawab Tujuh Pertanyaan Gus Rumail

Gus Rumail bertanya: Naskah apa yang diinterpolasi di sana-sini?

Yang pertama adalah interpolasi yang terjadi pada manuskrip kitab Abna’ul Imam fi Mishro Wasyam, yang di tulis oleh Abul Muammar Yahya bin Muhammad bin Tobatoba (w. 478 H.?). manuskrip kitab itu ditahqiq dan dicetak oleh Yusuf Jamalullail, seorang Ba Alwi.


Lihat bagaimana di halaman 167 dan 169 ia menulis anak anak Ahmad bin Isa menjadi empat, dengan menambahkan nama Abdullah. 

Jelas nama Abdullah ini adalah interpolasi. Dari mana mengetahuinya? Dari proposisi selanjutnya yaitu bahwa nama Abdullah ini dikenal juga dengan nama Ubaidillah karena ketawaduannya.


Sebagaimana diketahui, narasi bahwa Abdullah mengganti namanya menjadi Ubaidillah karena ketawaduannya adalah narasi yang baru muncul di abad ke-9 Hijriah, yaitu ketika Ali al-Sakran menulisnya dalam kitab Al-Burqotul Musyiqoh. 

Jelas sekali bahwa salah satu dari penyalin atau pentahqiq menginterpolasi naskah asli kitab Abna’ul Imam tersebut.


Jika Gus Rumail mengatakan, bahwa mungkin saja Yusuf jamalullail mendapatkan manuskrip itu sudah seperti itu dari salinan Muhammad bin Nassar Ibrahim al-Maqdisi (w. 1350 H.) sebagai mualliq (penambah catatan) yang terakhir sebelum naskah ia dapatkan. 

Betul sekali, penulis belum menuduh Yusuf jamalullail yang menginterpolasi, kemungkinan yang menginterpolasi adalah ketiga mualliq lainnya itu ada, sebagaimana kemungkinan yang menginterpolasi itu Yusuf Jamallullail sangat besar juga.


Tetapi seyogyanya, Yusuf Jamalullail ketika mencetak kitab ini tidak mengatasnamakan Ibnu Tobatoba yang hidup di abad lima Hijriyah sebagai pengarang, karena, sesuai pengakuannya dalam mukaddimah, bahwa kitab ini sudah ada penambahan di sana-sini oleh para mualliq.


Mungkin Gus Rumail bertanya, apakah penulis punya manuskrip asli kitab Aban’ul Imam? 

Untuk kasus kitab ini tidak perlu syahid manuskrip asli, karena interpolasi itu sudah diakui dalam mukaddimah, tetapi masyarakat kita terkadang malas membaca mukaddimah, dan langsung mencari objek yang ingin ia cari, akhirnya ia terjebak oleh sebuah narasi yang ada disuatu kitab yang difahami salah karena tidak sesuai dengan tuntunan penjelasan yang terdapat di mukaddimah kitab atau mukaddimah kitab tersebut.


Judul yang besar dalam versi cetak yang mengkesankan kitab tersebut karya Ibnu Tobatoba, dapat mengecoh pembaca awam yang membaca tanpa pisau analisis, bahkan, sekelas Doktor seperti Pak Fahruroji (Pengurus PBNU) saja mengutip kitab ini dengan menyatakan “ini kitab abad lima hijriah”, padahal sebagian isinya adalah tambahan ulama abad ke-14 Hijriyah. 

Maktab Daimi Rabitah Alawiyah saja masih menjadikan kitab ini hujjah ketika menjawab penulis, yang tentu dengan mudah dapat penulis patahkan.


Contoh yang kedua, adalah interpolasi yang terjadi pada kitab Al-Baha fi Tarikh Hadramaut karya Ibnu Hisan (w. 818 H). 

Bagaimana modusnya? Begini, lihat di halaman 125 terdapat kalimat begini: “Pada tahun 652 (Hijriyah) telah wafat Muhammad bin Ali Alwi (Faqih Muqoddam) di akhir suatu malam dari tahun tersebut”.


Kalimat ini sepintas mengesankan bahwa, kematian Faqih Muqoddam dicatat dalam buku sejarah yang ditulis bukan oleh kalangan Ba Alwi itu. 

Tetapi, jika diperhatikan seksama, di sana ada dua buah angka footnote: angka pertama setelah dibaca di footnote-nya berbunyi: bahwa naskahnya berlubang (artinya kalimat dalam manuskrip itu sebenarnya tidak bisa dibaca); Angka footnote kedua menunjukan bahwa kalimat dalam versi cetak itu diambil dari kitab Al-Gurar (960 H.) dan Al-Masyraurrawi (w. 1093 H.) abad 10 dan 11 Hijriyah yang keduanya karya Ba Alwi.


Jadi kalimat di atas yang menunjukan bahwa kematian Fakih Muqoddam dicatat dalam kitab Ibnu Hisan itu sebenarnya hanya perkiraan saja, karena dalam manuskrip aslinya nama Faqih Muqoddam tidak tercatat. 

Catatan itu diambil dari kitab lainnya yaitu kitab Al-Gurar dan Al-Masyraurrawi. 

Kita bisa menilai moral ilmiyah Abdullah Al-habsyi ini, mentahqiq suatu mansukrip dengan menginterpolasi isinya.


Jika pembaca tidak mempunyai kejeliaan dalam membaca, maka akan terkesan bahwa, kalimat yang menyatakan bahwa Faqih Muqoddam itu kematiannya tercatat oleh kitab non Ba Alwi itu benar, padahal kalimat itu tidak ada dalam manuskrip aslinya. 

Walau interpolasi itu diakui, seharusnya itu cukup ditulis dicatatan kaki, tidak perlu kalimat itu ditulis di dalam kitab yang mengesankan bahwa kalimat itu bagian dari manuskrip aslinya.

Pertanyaan pertama, keempat dan keenam Gus Rumail tentang naskah apa yang diinterpolasi, siapa pelakunya dan apa buktinya, sudah penulis jawab. 

Naskah Abnaul Imam dan Al-Baha, pelakunya Yusuf jamalullail dan Abdullah Al-habsyi, buktinya adalah contoh di atas. 

Sedangkan waktunya adalah waktu di mana keduanaskah itu dicetak. Penulis kira, contoh interpolasi itu cukup dua saja, walau sebenarnya pola semacam itu sepertinya bagian dominan dari gaya pentahqiqan sejarawan Ba Alawi dalam mempertahankan nasabnya.


Pertanyaan Gus Rumail yang kedua adalah : Naskah apa yang disembunyikan? Naskah yang disembunyikan adalah naskah dari kitab Tahdzibul Ansab dan Al-Majdi yang dikutip oleh Alwi bin tahir al- Haddad dalam Uqudul Almas. 

Tetapi manuskrip itu tidak ia sampaikan ke public atau tidak ia cetak, padahal ia telah mempunyaianya atau mengetahui keberadaannya sejak tahun 1960-an.


Kenapa manuskrip itu disembunyikan tidak di sampaikan ke public atau tidak ia cetak? Jawabannya karena dalam kitab Tahdzibul Ansab karya Al-Ubaidili itu menyebut nama Ahmad bin Isa tetapi tidak menyebut nama Ubaidillah sebagai nama anak Ahmad bin Isa.


Walaupun Alwi bin tahir al-Haddad tidak mencetaknya, tetapi Alhamdulillah, akhirnya ada ulama yang bernama Syekh Muhammad al-Kazim menemukan manuskrip itu, lalu mentahqiq dan mencetaknya pada tahun 1989, atau setelah sekitar 29 tahun pasca penemuan Alwi bin Tahir. 

Dan ternyata apa yang dikutip oleh Alwi bin tahir dalam Uqudul Almas dari manuskrip Tahdzibul Ansab itu isinya bertolak belakang dengan yang ditemukan oleh Muhammad al-Kazim.


Dalam Uqudul Almas halaman 11, Alwi bin tahir menyatakan bahwa Al-Ubaidili tidak menyebut Ahmad bin Isa bergelar Al-Naffat, ternyata dalam kitab yang dicetak oleh Muhammad Al-Kazim itu disebut bahwa Ahmad bin Isa bergelar Al-Naffat (lihat Tahdzibul Ansab halaman 176). 

Menurut penulis, Alwi bin Tahir bukan hanya menyembunyikan manuskrip itu tetapi juga memanipulasi kutipan manuskrip tersebut.


Begitujuga dengan kitab Al-Majdi yang dikutip Alwi bin Tahir, manuskrip ini ia temukan tahun 1960-an, ia kutip manuskrip ini dalam Uqudul Almas, namun tidak ia cetak. Manuskrip ini sepertinya ia sembunyikan. 

Tapi Alhamdulillah lagi, akhirnya ada ulama yang menemukannya, ia bernama Ahmad Mahdawi Al-Damigani pada tahun 1987 kemudian ia tahqiq dan cetak dan diterbitkan oleh Maktabah Al-Mar’asyi tahun 1422 H.

Hal yang menarik juga, bahwa kutipan Alwi bin Tahir dari Al-Majdi dalam kitabnya Uqudul Almas ternyata tidak sesuai dengan isi manuskripnya.


Untuk mempertahankan bahwa Ahmad bin Isa bergelar Al-Muhajir (orang yang hijrah), Alwi bin Tahir mereduksi setiap ulama yang menulis Ahmad bin Isa bergelar Al-Abah atau Al-Naffat. 

Dalam kasus kitab Al-Majdi, Alwi berusaha menggiring pembaca bahwa yang disebut Al-Naffat oleh kitab Al-majdi itu bukan Ahmad bin Isa tetapi cucunya yang bernama Abul Qosim bin Al-Hasan. 

Hal itu dilakukan dengan cara merubah huruf “mim” menjadi hurup “ba” Padahal, jelas sekali di dalam kitab Al-Majdi disebut bahwa Ahmad bin Isa bergelar Al-Naffat (lihat Al-Majdi halaman 337 dan Uqudul Almas Juz II halaman 15).


Mengenai pertanyaan ketiga Gus Rumail tentang naskah apa yang dimusnahkan, kemungkinan itu bisa saja terjadi, dan menelusuri kemungkinan itu penting untuk mengukur suatu peluang. 

Jika suatu kejadian berkali-kali terulang, maka ia akan menunjukkan pola-pola tertentu yang dapat dipelajari dan diprediksi. 

Mungkin itu bukan seandainya, ia lahir dari pengamatan pola yang cenderung terjadi berdasarkan pola yang sama yang sudah terjadi dalam kejadian lain.


Pertanyaan terakhir Gus Rumail adalah, naskah apa yang penulis punya? 

Penulis punya banyak naskah tentang nasab Ba Alwi, juga di lemari penulis saat ini, penulis mempunyai 40 kitab nasab dan sejarah Ba Alwi, dalam versi cetak bukan hasil print-out. 

Untuk kitab Al-Burqoh saja penulis mempunyai satu kitab versi cetak dan dua versi manuskrip dari penyalin yang berbeda. 

Kendati demikian, penulis tidak pernah membebani siapapun untuk mensawer penulis atau mengeluh tentang beratnya mendapatkan semua itu.


Pengkajian ini keinginan sendiri untuk membersihkan penyusup yang tidak bertanggung jawab dalam nasab mulia kekasih penulis, yaitu Baginda Nabi Muahmmad Saw. 

Dan untuk apa yang ingin penulis lakukan dengan senang hati itu, penulis tidak akan membebani siapapun untuk ikut bertanggung jawab akan konsekwensinya.


Catatan terakhir: 

Kedustaan Paulus memalsukan ajaran Nabi Isa As, tidak lebih dari, atau sekitar 550 tahun, sampai Allah mengutus Nabi Muhammad Saw untuk membuka tabir kepalsuan ajaran Paulus bahwa, Nabi Isa adalah “Anak Allah”. 

Tahun ini adalah tahun ke 550 dari mulai Ba Alwi mengaku keturunan Nabi Muhammad Saw di tahun 895 Hijriyah. 

Angka 550 itu sama dengan jarak kesunyian sejarahnya sampai Ahmad bin Isa. 

Ini bukan kebetulan. Penulis kira, Allah tidak akan memberikan waktu lebih lama untuk Ba Alwi dari waktu yang Allah berikan untuk Paulus.


Penutup

Melalui contoh-contoh di atas, jelas bahwa proses pentahqiqan naskah memerlukan ketelitian dan integritas ilmiah yang tinggi. 

Interpolasi tidak hanya mengaburkan fakta sejarah, tetapi juga bisa merusak reputasi para tokoh dan nasab yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. 

Dalam menghadapi tantangan seperti ini, penting bagi para peneliti dan pembaca untuk lebih kritis dan analitis, serta tidak terjebak dalam narasi yang tampak menarik namun sebenarnya menyimpang dari kebenaran. 

Dengan menjaga akurasi informasi dan memahami konteks historis, kita bisa lebih bijak dalam menghargai warisan intelektual yang telah dibangun oleh para ulama sebelumnya.

Asep Rois
Asep Rois Informasi yang disampaikan dalam setiap postingan di blog ini memiliki kemungkinan untuk keliru dari yang sebenarnya. Sebaiknya lakukan koreksi sebelum mengambil isinya.

Posting Komentar